Kamis, 12 Februari 2009

Kamis, 12 Februari 2009


Di akhir zaman ini, ummat islam terpecah menjadi 73 golongan dan masing-masing merasa paling benar.”

Seperti buih di lautan terombang ambing tiupan angin bertebaran (isu-isu yang bersifat kedajjalan, propaganda, laksana angin barat yang berhembus kencang).

Biarlah pendapat berbeda-beda selama masih bersifat khilafiyyah, asal jangan meributkan tentang prinsip akidah, hukum, dan ketuhanan dengan penafsiran tanpa ilmu. Janganlah menafsirkan Al Qur’an dan Hadits dengan nafsu.

Seperti kejadian di madura yang beberapa waktu lalu ada pendatang yang melakukan sholat tanpa bersedekap lalu dianggap sesat dan dihakimi massa.

Karena masyarakat terbelenggu oleh ajaran masing-masing gurunya yang si murid harus taklid dan menganggap ajaran guru tak boleh dikritisi, takut untuk bertanya, sehingga ilmu dari guru tidak bisa turun 100% kepada si murid.

Ini doktrin kebanyakan pesantren-pesantren di tanah air kita yang mana si guru adalah sumber ilmu yang tak mungkin salah. Dan kebanyakan di pesantren-pesantren tradisional, para murid tak berani bertanya karena takut dianggap tidak loyal terhadap ajaran guru, atau dianggap ‘nranyak’ (tidak etis).

Sehingga banyak terjadi salah paham antara yang wajib dan yang sunnah. Yang sunnah seolah banyak terkesan menjadi wajib. Yang tidak melakukan lalu dianggap sesat dan menyimpang.

Kekurang-pahaman mengenai prinsip dasar keislaman inilah yang banyak dimanfaatkan oleh pihak tertentu dan juga berakibat semakin maraknya ajaran sesat, terutama di kalangan civitas akademika yang notabene lebih berpikiran logis tetapi rapuh prinsip sehingga mudah di mind-set dengan doktrin-doktrin baru yang mengemukakan keilmiahan dan kelogisan yang pada hakikatnya adalah rekayasa penafsiran yang tidak jernih dan terkontaminasi nafsu human-feel keiblisan.

Faktor-faktor perpecahan pun dikarenakan pemahaman-pemahaman sempit si pencari ilmu. Bila sudah belajar pada kyai ANU, tidak mau ilmu dari kyai INI yang lain faham atau madzhab sehingga pikirannya pun menjadi picik dan tidak objective.

Akal ini adalah karunia Allah untuk kita menimbang ilmu, informasi dari berbagai sudut yang kita conform-kan dengan Al Qur’an dan Sunnah. Kalau hanya mengambil dari satu sudut saja, tentu sangat subjective sifatnya dan egois. Dalam menafsirkan suatu hadits pun tidak boleh dengan picik.

Misalnya, “Peliharalah jenggotmu”. Arti kata pelihara itu apa sih? Kalau kita pelihara sapi apa hanya kita biarkan sapi itu tumbuh sendiri, ngeluyur ke sana kemari cari makan sendiri, kita biarkan saja? Pelihara itu, RAWAT, RAPIKAN, yang amburadul dipotong, biar cakep, ganteng, gagah. Kalau jenggotnya cuma lima helai ya jangan dipanjangkan lah, malah tidak bagus.


Lalu hadits tentang kain sebatas mata kaki, lalu orang-orang pada memotong celananya cungklang-cungklang (jauhdi atas mata kaki), tetapi tetap memakai kaus kaki hingga ke ujung jempol. Percuma kan? Sudah tidak pantas, percuma pula.

Padahal maksud dari hadits itu adalah ketika itu Baginda Rasul melihat ada ummatnya yang kayaraya, pergi ke masjid, kainnya diangkat oleh para pembantunya karena terlalu panjang sehingga menimbulkan kesan pamer dan kebanggaan duniawi, kesombongan yang timbul. Oleh karena itu, turun hadits demikian dengan maksud supaya kita itu sepantasnya saja, jangan berlebihan, kain jangan menyentuh tanah (bagi laki-laki) supaya tidak kotor, kena najis, apalagi di gurun pasir.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Pocket